Jumat, 16 Januari 2009

SERTIFIKASI GURU, PROFESI GURU DAN DUNIANYA.

Akreditasi Program Pendidikan dan Sertifikasi Guru

Oleh Agus Suwignyo

Upaya meningkatkan kualifikasi guru bisa tidak jelas arahnya jika tidak disertai standar terukur dan sistematis guna mengevaluasi proses peningkatan kualifikasi itu. Karena itu, selain kurikulum dan rambu-rambu sertifikasi, substansi dan model akreditasi mendesak dirumuskan guna mengevaluasi aneka program pendidikan dan sertifikasi guru yang (akan) diselenggarakan lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan lembaga perguruan tinggi lainnya.

Menurut Oakes (1999), pendidikan, sertifikasi guru, dan akreditasi program pendidikan sama-sama menentukan berhasil-tidaknya upaya meningkatkan mutu guru. Keluhan atas kegagalan universitas bekas IKIP dalam melahirkan guru bermutu (Kompas, 7/1/2006) harus dibaca dalam konteks tiadanya akreditasi yang mengevaluasi proses pencapaian tujuan pendidikan guru pasca-IKIP menjadi universitas. Begitupun semangat meningkatkan kualitas pendidikan di LPTK (Kompas, 26/1/2006) harus dipandang kritis dalam bingkai akreditasi yang akan dipakai.

Perhatian serius

Di beberapa negara, pemerintah dan badan-badan swasta peduli pendidikan memberi perhatian serius soal akreditasi program pendidikan guru. Di Inggris, rujukan standar mutu (benchmark) kualifikasi profesional guru sebagai bagian kurikulum pendidikan guru yang dirumuskan Badan Pelatihan Guru dari unsur LPTK dan universitas dikritik karena mekanisme akuntabilitasnya tidak jelas (Reynolds, 1999).

Misalnya, meski menekankan fungsi utama dan tujuan praktik profesional pendidik, badan ini tak mengurai bagaimana para guru akan dilatih menjalankan fungsinya. Badan Pelatihan Guru lalu didampingi The Management Charter Initiative sebagai pembanding dan evaluator.

Di Perancis, penyatuan berbagai lembaga pendidikan guru dalam level pendidikan tinggi Institut Universitaires de Formation des MaƮtres (IUFM) 1991 menimbulkan perdebatan tentang pengukuran akuntabilitas institut itu (Bonnet, 1996).

Sebagai lembaga pendidikan tinggi, IUFM memiliki kemandirian akademik dan berhak menentukan model akreditasinya sendiri. Di sisi lain, karena guru-guru di Perancis adalah pegawai pemerintah, lembaga yang menyiapkan calon guru harus diakreditasi pemerintah.

Pemerintah mengeluarkan pedoman pengembangan program pendidikan guru. IUFM di tiap wilayah diizinkan mengembangkan program pendidikan guru sendiri, tetapi harus mengikuti pedoman nasional dan dievaluasi Komisi Akreditasi Pemerintah.

Di AS, The National Council for Accreditation of Teacher Education (NCATE), badan akreditasi swasta yang sudah ada sejak tahun 1954 dan diakui pemerintah, dinilai terlalu menekankan kualitas lembaga penyelenggara, seperti fasilitas perkuliahan dan kemampuan manajerial pengelola. Kriteria NCATE sulit dipenuhi kolese-kolese kecil yang kemudian membentuk Teacher Education Accreditation Council sebagai badan akreditasi sendiri dengan tekanan proses dan hasil belajar mahasiswa (El-Khawas, http://www.unc.edu/ppaq/docs/ TEAC/TEAC.html).

Dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, akreditasi program pendidikan guru pernah dilakukan. Sekolah Guru Pribumi pertama di Jawa yang didirikan tahun 1851 di Surakarta ditutup tahun 1871 karena kurikulumnya dinilai terlalu menekankan pelajaran bahasa (Kroeskamp, 1974). Sekolah Guru di Pulau Nias juga dibubarkan karena jumlah guru dan murid dianggap terlalu sedikit. Sekolah guru di Probolinggo, Madiun, dan Salatiga dibubarkan karena dinilai tak mencapai tujuan.

Seluruh upaya akreditasi ini dimaksudkan menjaga mutu program pendidikan agar melahirkan guru berkualitas sesuai standar dan tujuan yang dibuat.

Keunggulan khas
Pada hemat saya, bentuk lembaga penyelenggara program dan model pendidikan guru memengaruhi keunggulan khas keguruan (pedagogical craft knowledge), tetapi tak menentukan mutu guru. Derajat mutu guru ditentukan kualitas program, lembaga penyelenggara program, dan proses penyelenggaraan program yang akuntabilitasnya diukur melalui akreditasi.

Akreditasi untuk menjamin bahwa materi bidang studi (subject-matter knowledge) dan pengetahuan tentang cara mengajarkan materi bidang studi (pedagogical content knowledge) diberikan kepada calon guru dalam substansi dan proses yang level mutunya kira-kira setara meski bentuk lembaga dan model pendidikan berbeda-beda.

Karena itu, suatu substansi dan model akreditasi program pendidikan dan sertifikasi guru perlu dipikirkan sejak sekarang. Apa yang telah dilakukan di negara lain dan pengalaman bangsa kita mungkin dapat dirujuk sebagai gambaran.


MAMPUKAMAMPUKAH SERTIFIKASI GURU MENDONGKRAK MUTU PENDIDIKAN?

Tak seorang pun dapat membantah bahwa guru berada di garda depan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka telah melahirkan banyak dokter, insinyur, menteri, bahkan presiden. Tidak heran apabila guru dielu-elukan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Namun, banyak kalangan menilai, kesejahteraan guru belum sepadan dengan gelar luhur dan mulia yang disandangnya. Iwan Fals lewat lirik “Oemar Bakri” pun tersentuh hatinya menyaksikan nasib guru yang tak pernah berubah sepanjang zaman. “Datang ke sekolah membawa tas dari kulit buaya, naik sepeda kumbang di jalan berlubang, selalu begitu dari dulu waktu zaman Jepang. Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang, banyak polisi bawa senjata berwajah garang …” Sungguh ironis, sampai-sampai polisi pun tidak lagi hormat pada guru. Begitulah sosok guru Oemar Bakri di mata sang “seniman rakyat” itu. Guru tidak lagi menjadi figur yang terhormat dan berwibawa.

Zaman memang telah berubah. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budi dan cerahnya akal budi (nyaris) luntur tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung memanjakan nilai konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme. Banyak orang yang makin cuek dan masa bodoh terhadap keagungan nilai kejujuran, keuletan, atau kebersahajaan. Sukses seseorang pun semata-mata dinilai dari kemampuannya menumpuk harta, tanpa memedulikan dari mana harta itu diperoleh.

Dalam kondisi zaman yang makin memberhalakan gebyar duniawi semacam itu, profesi guru pun makin tidak dilirik dan diminati generasi muda. Secara sosial, pamor guru pun semakin redup. Kalau hanya mengandalkan penghasilannya sebagai guru, hampir mustahil seorang guru bisa hidup layak di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian gencar memanjakan nafsu keduniawian. Jangan heran apabila banyak guru yang terpaksa nyambi jadi tukang ojek, penjual rokok ketengan, atau calo, sekadar untuk bisa mengikuti “ombyaking zaman”.

Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugas dan fungsiya secara profesional kalau masih dibebani oleh thethek-mbengek urusan perut? Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugasnya dengan tenang dan nyaman kalau harus terus memikirkan keluarganya yang sakit akibat minimnya jaminan kesehatan? Bagaimana mungkin seorang guru bisa mengikuti laju informasi yang demikian cepat kalau tak sanggup langganan koran atau internet? Padahal, dunia ilmu pengetahuan dan informasi terus berkembang. Bagaimana bisa membikin siswa didiknya cerdas kalau dirinya sendiri buta informasi dan “gaptek” (baca: gagap teknologi)? Tidak berlebihan jika pada akhirnya mutu pendidikan di negeri ini hanya “jalan di tempat”, bahkan mengalami kemunduran.

Sungguh menarik data yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Fasli Djalal, sebagaimana dilansir sebuah surat kabar nasional. Menurutnya, terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.

Kondisi ini jelas amat kontras dengan mutu pendidikan di negeri jiran yang dulu menimba ilmu kepada bangsa kita. Konon, guru-guru di negeri jiran, seperti Malaysia atau Singapura bisa hidup lebih dari cukup hanya dengan mengandalkan penghasilannya sebagai guru. Para penguasa negeri itu benar-benar memosisikan guru pada aras yang mulia dan terhormat dengan memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan, dan perlindungan hukum yang amat memadai. Implikasinya, mutu pendidikan di negeri itu melambung bak meteor, makin jauh meninggalkan dunia pendidikan kita yang (nyaris) tak pernah bergeser dari keterpurukan. Hal itu bisa dilihat dari kualitas HDI (Human Development Index) negeri-negeri tetangga yang jauh berada di atas kita.


“Kemauan Politik”

Sudah banyak kalangan yang risau terhadap nasib guru. Organisasi profesi semacam PGRI, misalnya, sudah pernah “nglurug” besar-besaran ke Jakarta agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru. Demikian juga para pakar, pengamat, dan pemerhati pendidikan. Tak henti-hentinya mereka berteriak menyuarakan opininya melalui berbagai media massa.

Gerakan massa dan berbagai tekanan terhadap pemerintah baru surut setelah presiden dengan persetujuan DPR memutusan dan menetapkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada 30 Desember 2005 yang lalu. Lahirnya UU ini jelas membawa angin segar bagi guru dan dosen. Setidaknya, pemerintah sudah menunjukkan “kemauan politik” untuk mengangkat harkat dan martabat guru pada aras yang lebih terhormat.

Dalam pasal 14 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Apakah yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum? Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Bahasa sederhananya, ke depan seorang guru profesional berhak mendapatkan tambahan penghasilan yang jumlahnya sangat “aduhai” untuk ukuran guru di Indonesia pada umumnya.

Bagi kebanyakan guru di Indonesia, tambahan penghasilan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan mengingat penghasilan guru di Indonesia pada umumnya relatif rendah. Rendahnya penghasilan guru di Indonesia semakin terasa apabila dibandingkan dengan penghasilan guru di negara yang kinerja pendidikannya relatif memadai seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat (AS).

Akan tetapi, tunggu dulu! Untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang “aduhai” itu bukanlah persoalan yang mudah. Dalam pasal 16, misalnya, ditetapkan bahwa (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Itu artinya, guru yang belum memiliki sertifikat pendidik jangan bermimpi untuk mendapatkan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok. Persoalannya sekarang ialah bagaimanakah cara guru untuk memperoleh sertifikat pendidik itu?

Sekarang ini sedang diperbincangkan kualifikasi guru yang dapat diuji sertifikasi; artinya tidak semua guru dapat dilakukan uji sertifikasi. Guru yang dapat diuji sertifikasi ialah guru yang memenuhi kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam PP dan UU; dalam hal ini PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan UU Guru.

Untuk menjadi guru SD (atau MI) misalnya. Pasal 29 ayat (2) PP SNP secara eksplisit menyebutkan pendidik (guru) pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan c) sertifikat profesi guru untuk SD/MI. Implikasinya ialah, untuk mendapatkan sertifikasi pendidik atau dapat diuji sertifikasi maka seorang guru SD setidak-tidaknya harus berpendidikan D-IV atau S1.

Berapakah guru SD yang telah memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S1? Menurut data Balitbang Depdiknas, secara nasional baru sekitar 8 persen guru SD yang memiliki pendidikan minimal sarjana. Itu berarti, dari sekitar 1,2 juta guru SD yang dimungkinkan diuji sertifikasi hanya 8 persen saja. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana nasib guru yang 92 persen atau sekitar 1,1 juta orang jumlahnya. Di luar SD banyak guru SMP, SMA dan SMK yang bernasib sama; demikian pula dengan guru (pendidik) TK dan PAUD, meskipun dengan variasi angka yang berbeda-beda. Itu artinya, untuk mendapatkan tunjangan profesi, guru yang belum memiliki kualifikasi akademik D-IV atau S1 harus melalui perjalanan yang cuku panjang dan berliku.

Lantas, bagaimana dengan guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi akademik?
Untuk Jawa Tengah, menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Widadi, sebagaimana dilansir Kompas (2/11/2006), pada akhir tahun 2006 sebanyak 2.000 guru dari tingkat sekolah dasar hingga menengah, dijadwalkan mengikuti program sertifikasi guru. Jumlah ini merupakan sebagian kecil dari 140.000 guru di Jawa Tengah yang perlu mendapat sertifikasi guru. Jumlah guru seluruhnya mencapai 235.000 orang.

“Kemarin kami sudah dipanggil, katanya akhir tahun ini akan ada 2.000 guru dari Jateng yang akan mengikuti program sertifikasi,” ungkapnya di Pondok Pesantren Assalaam.

Sertifikasi guru menjadi amanat Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dua belas bulan sejak diundangkannya aturan tersebut, yakni pada akhir tahun 2005 lalu. Diharapkan dalam jangka waktu 10 tahun setelahnya, semua guru sudah memiliki kualifikasi akademik setidaknya S1 atau diploma IV dan memiliki sertifikat pendidik.

“Jawa Tengah sendiri menargetkan semua guru di sini sudah mendapatkan sertifikasi pada tahun 2010 mendatang. Meskipun sulit, tapi kami harus optimistis hal ini tercapai. Dalam hal ini memang kami sangat bergantung pada pemerintah pusat karena ini program pusat,” kata Widadi. Meski demikian, untuk sementara ini pihaknya belum mengetahui lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) mana yang ditunjuk pemerintah yang akan menyelenggarakan proses sertifikasi bagi 2.000 guru tersebut. Sambil menunggu proses sertifikasi guru berjalan, pihaknya untuk sementara ini memberikan stimulan berupa beasiswa kepada para guru untuk meningkatkan kualifikasinya.


Tunjangan Fungsional

Sementara itu, untuk tunjangan fungsional, menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Fasli Jalal, sebagaimana dilansir sebuah media cetak nasional, tahun 2007 sudah pasti akan dialokasikan anggarannya. Meski demikian, tunjangan fungsional masih dimungkinkan untuk diberikan pada guru bila terjadi perubahan APBN 2006. Besaran tunjangan fungsional beragam, dan pemerintah sedang menghitung. Diperkirakan tunjangan fungsional sedikit lebih rendah dibanding gaji pokok. “Kami memperkirakan tunjangan fungsional untuk seluruh guru, baik negeri maupun swasta memerlukan dana Rp 17 triliun. Kalau ada anggarannya di APBN 2006, mungkin tunjangan fungsional bisa mulai diberikan. Tetapi yang pasti, tahun 2007 pasti sudah kami anggarkan,” jelas Fasli.

Sementara menyangkut tunjangan profesi, pemerintah akan segara membuat peraturan agar guru bisa segera mendapat sertifikat pendidik. Dalam enam bulan, akan segera turun peraturan mengenai akreditasi perguruan tinggi yang berhak mengeluarkan sertifikat pendidik. “Akan kita atur agar proses mendapat sertifikat profesi tidak KKN, bagaimana guru yang ada di daerah juga dapat mengambil sertifikat profesi. Siapa yang harus didahulukan mengambil sertifikat pendidik, akan kita buat aturannya,” katanya.

Guru-guru berstatus sarjana dan sudah mempunyai pengalaman kerja lebih dari 20 tahun akan didahulukan. Diharapkan pada tahun ajaran 2006/2007, proses sertifikasi pendidik sudah dimulai. Direncanakan pada tahun 2006 akan dilakukan proses sertifikasi pada 150.000 guru negeri dan 100.000 guru swasta. Sementara bagi guru yang belum bergelar sarjana tetapi mengajar puluhan tahun, akan diberi kemudahan. “Kita akan minta ada perlakuan khusus bagi mereka. Masa kerja, dan cara mengajar mereka di kelas, semua akan diperhitungkan. Tidak harus mereka harus kuliah sarjana baru kemudian profesi,” jelasnya. Saat ini diperkirakan 470.000 guru negeri yang sudah mempunyai gelar sarjana. Sementara dari 900.000 guru swasta, belum diketahui berapa yang bergelar sarjana.

Seandainya sudah banyak guru yang memiliki sertfikat profesi, apakah ada jaminan adanya peningkatan mutu pendidikan? Jika berkaca pada pengalaman negara-negara maju, program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar pengajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.

Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.

Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.

Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas. Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang kariernya.

Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru. Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).

Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara profesi guru.

Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.

Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.

Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya.
***


KEGIATAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU

Oleh : Dr. Sulipan

Pendahuluan

Guru adalah jabatan profesi, untuk itu seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan kode etik yang regulatif. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui forum pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan dan belajar secara mandiri.

Sejalan dengan hal di atas, seorang guru harus terus meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar, mencakup keterampilan dalam memperoleh pengetahuan (learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be), keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to live together).

Kegiatan Pengembangan Profesi Guru

Setiap guru wajib melakukan berbagai kegiatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya. Lingkup kegiatan guru tersebut meliputi : (1) mengikuti pendidikan, (2) menangani proses pembelajaran, (3) melakukan kegiatan pengembangan profesi dan (4) melakukan kegiatan penunjang. Berkaitan dengan program Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah, maka penulisan karya ilmiah adalah salah satu dari kegiatan pengembangan profesi guru. Kegiatan pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan keterampilan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya maupun lingkup sekolah pada khususnya.

Tujuan Kegiatan Pengembangan Profesi Guru

Tujuan kegiatan pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar guru lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, kegiatan tersebut bertujuan untuk memperbanyak guru yang profesional, bukan untuk mempercepat atau memperlambat kenaikan pangkat/golongan. Selanjutnya sebagai penghargaan kepada guru yang mampu meningkatkan mutu profesionalnya, diberikan penghargaan, di antaranya dengan kenaikan pangkat/golongannya. Dalam kaitannya dengan program bimbingan penulisan karya ilmiah, maka penulisan karya tulis ilmiah sendiri yang merupakan salah satu kegiatan pengembangan profesi guru, bukanlah sebagai tujuan akhir tetapi sebenarnya merupakan wahana untuk melaporkan kegiatan yang telah dilakukan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pembelajaran di sekolah.

Rincian Macam Kegiatan Pengembangan Profesi Guru

Untuk setiap kegiatan dalam kegiatan pengembangan profesi yang dilakukan dengan baik dan benar diberikan angka kredit. Angka kredit adalah angka yang diberikan berdasarkan penilaian atas prestasi yang telah dicapai oleh seorang guru dalam mengerjakan butir rincian kegiatan yang dipergunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat dalam jabatan guru. Penetapan Angka Kredit adalah penetapan hasil penilaian prestasi kerja guru yang telah memenuhi syarat untuk kenaikan jabatan/pangkat yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Sementara ini untuk kenaikan pangkat dari golongan IV/a ke golongan IV/b ke atas seorang guru dipersyaratkan untuk mengumpulkan angka kredit dari bidang kegiatan pengembangan profesi guru minimal sebesar 12 point.

Pada bidang pengembangan profesi tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan;

2. Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan;

3. Menciptakan karya seni;

4. Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan;

5. Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Lingkup kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan, meliputi : karya ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi di bidang pendidikan, karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah gagasan sendiri dalam bidang pendidikan, tulisan ilmiah populer, prasaran dalam pertemuan ilmiah, buku pelajaran, diktat pelajaran dan karya alih bahasa atau karya terjemahan. Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan, melliputi pembuatan alat peraga dan alat bimbingan. Menciptakan Karya Seni meliputi Karya Seni Sastera, Lukis, Patung, Pertunjukan, Kriya dan sejenisnya. Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan, meliputi teknologi yang bermanfaat di bidang pembelajaran, seperti alat praktikum, dan alat bantu teknis pembelajaran. Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum, meliputi keikutsertaan dalam penyusunan standar pendidikan dan pedoman lain yang bertaraf nasional.

Masing-masing kegiatan pengembangan profesi diberikan angka kredit sesuai Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kepmenpan) No. 84/1993 yang berlaku.

No.

Jenis Kegiatan

Rincian

Angka Kredit

1

Melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan;

Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional

12,5

Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam majalah ilmiah yang diakui.

6

Hasil penelitian yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan dalam bentuk buku

8

Hasil penelitian yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan dalam bentuk makalah

4

Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang pendidikan yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional

8

Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang pendidikan yang dipublikasikan dalam majalah ilmiah yang diakui

4

Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang pendidikan yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk buku

7

Karya tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang pendidikan yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah

3,5

Tulisan ilmiah populer di bidang pendidikan dan kebudayaan yang disebarluaskan melalui media massa

2

Menyampaikan prasaran berupa tinjauan, gagasan, atau ulasan ilmiah dalam pertemuan ilmiah

2,5

Buku pelajaran atau modul bertaraf nasional

5

Buku pelajaran atau modul bertaraf provinsi

3

Diktat pelajaran

1

Mengalihbahasakan buku pelajaran/ karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan

2,5

2

Membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan;

0,5

3

Menciptakan karya seni;

5

4

Menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan;

5

5

Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Bersifat pembaruan :

Ketua :

Anggota :

4,5

3,5

Bersifat pembaruan :

Ketua :

Anggota :

3

2

Program Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah

Guna memfasilitasi dan memotivasi guru untuk melakukan kegiatan pengembangan profesi, Direktorat Profesi Pendidik menyelenggarakan program Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah bagi guru. Lingkup program ini meliputi pemberian bimbingan kepada guru dalam melakukan : (1) penelitian deskriptif, (2) penelitian eksperimen, dan (3) penelitian tindakan kelas. Alasan memilih tiga kegiatan tersebut adalah besarnya minat guru untuk melakukan ketiga jenis kegiatan penelitian tersebut. Dari penilaian angka kredit untuk golongan IV/a ke atas, terbukti paling banyak guru mengajukan bukti kegiatan pengembangan profesinya berupa laporan penelitian deskriptif, penelitian eksperimen dan penelitian tindakan kelas. Untuk itulah pada tahun 2007 ini Direktorat Profesi Pendidik memilih ketiga jenis penelitian tersebut dalam program bimbingan secara online (melalui internet), namun tidak menutup kemungkinan pada masa depan akan diselenggarakan program yang mendukung jenis kegiatan pengembangan profesi yang lain.

Last modified: Saturday, 5 May 2007, 01:56 PM


MENSIASATI BIAYA PENDIDIKAN

Dikutip dari Danareksa.com

Pendidikan di Indonesia masih merupakan investasi yang mahal, untuk itu diperlukan perencanaan keuangan yang baik, bila ingin merencanakan pendidikan dengan baik bagi buah hati sebaiknya merencanakan dana pendidikan sejak dini. Dana pendidikan bisa mulai dipikirkan serta disiapkan sejak anak lahir dengan menyisihkan sebagian pendapatan rutin kita tiap bulannya atau pada waktu tertentu secara rutin.

Setiap pergantian tahun ajaran para orang tua, selalu dihadapkan pada masalah biaya pendidikan. Terlebih bila ada anaknya yang akan masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, maka mereka harus bersiap-siap merogoh kocek lebih dalam. Banyak orangtua atau bahkan juga anak-anak-yang menderita stres ketika mereka harus mendapatkan sekolah baru untuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Anak taman kanak-kanak harus masuk sekolah dasar, lalu sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas, selanjutnya ke perguruan tinggi.Selain harus menyediakan sejumlah uang sebagai uang pangkal (bahkan sering kali mesti ditambah pula dengan uang sumbangan sukarela), juga mesti memindahkan sebagian uang keluarga untuk membeli buku pelajaran dan seragam sekolah yang baru.

Sebagai orang tua, kita pasti setuju bahwa pendidikan mempunyai peranan besar terhadap masa depan anaknya. Sehingga demi mendapatkan pendidikan yang terbaik, maka menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang paling tinggi adalah salah satu cara agar si anak mampu mandiri secara finansial nantinya. Namun mahalnya biaya pendidikan saat ini ditambah lagi dengan naiknya biaya pendidikan dari tahun ketahun seringkali membuat orang tua tidak mampu menyediakan dana pendidikan tersebut pada saat dibutuhkan.

Apalagi jika yang dimaksud adalah pendidikan bermutu. Sekolah negeri favorit saat ini bahkan biaya sekolahnya tidak berbeda jauh dengan sekolah swasta. Apalagi dengan maksud agar anaknya mendapat pendidikan terbaik berwawasan internasional, maka beberapa orang tua juga berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Buat Anda yang pernah bersekolah di luar negeri pasti ingat betapa biaya hidup selama belajar disana hampir sama besarnya dengan biaya pendidikan itu sendiri. Pengalaman itu menunjukan bahwa bila Anda menyekolahkan anak keluar negeri kelak, jumlah yang harus Anda keluarkan akan jauh lebih besar lagi.

Lalu, benarkah pendidikan masih merupakan barang mewah ? Disebut kemewahan karena bagi sebagian besar kalangan, pendidikan masih menyita biaya yang luar biasa besarnya hingga sulit dipenuhi. Terutama oleh kalangan menengah ke bawah dengan keuangan terbatas.

Jika disandingkan dengan kebutuhan primer dan biaya hidup yang semakin mahal, tentu saja kebutuhan akan pendidikan yang bersifat jangka panjang dan tidak terlalu mendesak menjadi semakin dikesampingkan.

Beban orang tua untuk mempersiapkan dana sedemikian besar untuk membayar uang pangkal sekolah anak memang cukup berat jika harus dibayar sekaligus. Karena itu untuk mengantisipasi mahalnya biaya pendidikan kelak maka salah satu caranya adalah dengan mempersiapkan dana pendidikan jauh-jauh hari sebelumnya.

Untuk mempersiapkan dana biaya pendidikan, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan para orang tua. Secara garis besar, sumber pendanaan alternatif dalam perencanaan keuangan menghadapi tahun ajaran baru ada 5, yaitu :

  1. Menabung melalui jasa perbankan.
    Tabungan pendidikan, yang merupakan gabungan bentuk deposito, asuransi, dan tabungan. Bedanya, deposito dimulai dengan uang pangkal yang besar, sementara tabungan pendidikan membayar setoran untuk mendapatkan “uang pangkal” yang lebih besar. Dan berbeda pula dengan tabungan biasa, karena tidak dapat diambil sebelum jatuh tempo (layaknya asuransi dan deposito). Uniknya, walaupun bentuknya tabungan pendidikan, namun ada juga yang dijaminkan dengan perlindungan asuransi.

Jadi ketika setoran yang seharusnya dilakukan sepanjang waktu perjanjian tidak tercapai, akan ditanggung pihak penjamin, setoran bulanan akan dilanjutkan hingga jatuh tempo bila orangtua penyetor mengalami kecelakaan dan tidak bisa melanjutkan setoran.

  1. Membeli produk asuransi yang mengandung unsur tabungan.
    Asuransi pendidikan, bentuk penjaminan terhadap risiko, keuntungan menggunakan sumber pendanaan ini bila waktu yang direncanakan tepat atau ada risiko yang muncul di tengah “perjalanan”. Biasanya model ini digunakan bagi keluarga yang memiliki resiko tinggi, sebut saja orang tua dengan pekerjaan tingkat kecelakaanya lebih tinggi.
  2. Mempersiapkan sendiri dengan cara berinvestasi.
    Selain tabungan dan asuransi pendidikan maka Anda juga bisa mempersiapkannya sendiri dengan cara berinvestasi ke dalam suatu produk investasi lain, misalnya reksa dana. Anda bisa melakukan setoran rutin investasi per bulan, atau pada waktu yang diinginkan.
  3. Dengan mengambil pinjaman kredit jangka pendek.
    Walaupun tidak terlalu lazim digunakan untuk sumber dana pendidikan, namun sebagian masyarakat masih menggunakannya, misalnya seperti produk pinjaman tanpa jaminan yang dikeluarkan oleh bank. Kartu kredit. Sumber keuangan ini sangat memungkinkan, walaupun pembayarannya mungin akan menjadi masalah baru. Selain bunga yang tinggi bila jatuh tempo, juga tingkat risikonya cukup besar. Menggadaikan harta Anda yang berharga seperti perhiasan emas ke pegadaian, juga merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk berbagai keperluan yang mendesak, misalnya seperti membayar uang pangkal sekolah anak. Dalam keadaan mendesak, dimana tidak tersedia dana yang cukup untuk membayar biaya pendidikan anak dengan segera, maka mengambil pinjaman kepada pihak lain bisa menjadi salah satu alternatif,
  4. Dengan menjual harta kekayaan.
    Jika Anda mempunyai simpanan dalam bentuk kertas ( paper asset ) seperti reksa dana, saham atau harta dalam bentuk wujud lainnya seperti emas, tanah. Kendaraan atau barang berharga lainnya bisa dipertimbangkan untuk menjualnya jika tidak tersedia dana tunai yang cukup untuk membayar biaya pendidikan anak.

Prinsipnya dari ke 5 alternatif mempersiapkan dana pendidikan, semuanya bisa dijalankan hanya tinggal mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Dengan mempersiapkan dana pendiikan jauh-jauh hari atau sejak dini baik melalui,tabungan pendidikan, asuransi pendidikan maupun mempersiapkannya sendiri, memungkinkan para orang tua merancang pendidikan anak-anaknya.

Tidak hanya dari pola dan sistem pendidikan yang diinginkan, namun juga kualitas pendidikan yang terkait erat dengan biaya pendidikan itu sendiri. Orang tua dapat menentukan sejak dini pendidikan jangka panjang seperti apa yang diinginkan untuk anak mereka. Sekaligus mempunyai prediksi besaran biaya dan dibutuhkan dan merancang untuk memenuhinya dalam hitungan sekian waktu tertentu.

Sebaliknya jika persiapan dana pendidikan tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, alias dadakan, bisa jadi tiap kali anak Anda hendak membayar uang pangkal masuk sekolah, lagi-lagi Anda harus kalang kabut. Kalau sudah begitu, mungkin alternatif nomor 4 dan 5 bisa Anda pertimbangkan sebagai jalan keluarnya.

Pada akhirnya selama pemerintah belum mampu menunjukkan komitmennya terhadap jaminan pendidikan gratis bagi rakyat, maka keputusan untuk berinvestasi untuk persiapan dana pendidikan anak dan peran serta orang tua dalam merancang pendidikan bagi anak-anaknya sangatlah besar. Apapun produk investasi yang digunakan, sebaiknya produk investasi pendidikan tersebut haruslah dirancang sedemikian rupa hingga mengutamakan kepentingan anak serta mampu memberikan manfaatnya tepat pada saat dibutuhkan.

4 Langkah Mudah Mempersiapkan Dana Pendidikan

Mempersiapkan dana pendidikan juga bukan asal menabung, jangan-jangan biarpun Anda sudah capek menabung dana yang terkumpul tidak cukup juga. Untuk mempermudah Anda melakukan persiapan dana pendidikan anak, berikut ini adalah langkah – langkah yang bisa dijalankan :

  1. Menentukan target dana pendikan yang dibutuhkanBanyak orang tua hanya mengetahui tingginya biaya pendidikan saat ini, tapi lupa memperkirakan berapa besarnya biaya pendidikan kelak. Sehingga walaupun merasa sudah menabung tetapi dana tersebut ternyata tidak cukup saat akan dipakai. Target dana pendidikan yang dibutuhkan adalah sama dengan perkiraan biaya pendidikan kelak, dan untuk memperkirakannya, lakukanlah 2 hal sebagai berikut :

Cari informasi berapa biaya saat ini untuk masing – masing jenjang pendidikan yang akan dilalui anak Anda ( TK, SD, SMP, SMA, Universitas, S2 ) Misalkan biaya uang masuk TK saat ini adalah Rp 5 jt dan anak Anda akan masuk TK 4 tahun lagi.

Hitung berapa biaya pendidikan tersebut kelak, Kalikan dengan asumsi kenaikan biaya pendidikan pertahun sampai anak Anda masuk sekolah. Misalkan biaya uang masuk TK saat ini adalah Rp 5 jt dan anak Anda akan masuk TK 4 tahun lagi sedangkan asumsi rata-rata kenaikan biaya pendidikan pertahun yang adalah 10%, maka 4 tahun lagi biaya uang pangkal masuk TK tadi sudah naik menjadi Rp 7.350.000,-

  1. Menetapkan cara pencapaian target dana pendidikan. Ada 2 cara yang bisa dipilih untuk mencapai target dana pendidikan, yaitu :
    1. Melakukan setoran rutin bulanan ke dalam suatu produk investasi, misalnya : - Menabung secara rutin ke tabungan biasa, tabungan pendidikan atau deposito di bank, melakukan investasi bulanan ke produk reksadana, atau mengambil asuransi pendidikan.
    2. Menabung atau melakukan investasi sekali saja di muka dengan dana tunai yang dimiliki saat ini.
  2. Melindungi Investasi dari resiko. Hilangnya kemampuan orang tua untuk mendapatkan penghasilan akibat kematian, kecelakaan atau sakit parah, bisa menyebabkan setoran rutin untuk dana pendidikan terhenti. Untuk mengantisipasi dari resiko – resiko ini, maka akan lebih bijaksana jika Anda mengambil asuransi Bila Anda sudah mengambil asuransi pendidikan atau tabungan pendidikan yang juga memberikan manfaat asuransi maka otomatis dana pendidikan anak Anda sudah terproteksi. Artinya jika salah satu resiko seperti tersebut diatas terjadi maka pihak asuransi akan meneruskan persiapan dana pendidikan untuk anak Anda.

Namun jika Anda menabung sendiri maka sebaiknya mengambil asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi penyakit kritis, dengan besar jumlah uang pertanggungan yang jika uang pertanggungan tersebut dimasukkan kedalam suatu produk tabungan atau investasi maka hasil bunga yang didapat bisa untuk membayar setoran rutin dana pendidikan anak Anda.

  1. Melakukan Evaluasi dan Revisi Untuk memastikan agar target dana pendidikan yang dinginkan tercapai maka sebaiknya rencana keuangan yang dijalankan dievaluasi minimal setahun sekali. Hal ini dilakukan karena asumsi suku bunga tabungan, deposito, asuransi maupun produk investasi lainnya bisa saja berubah Demikian juga asumsi kenaikan biaya pendidikan pertahun, sehingga kemungkinan terjadi ketidak sesuaian antara asumsi yang dipakai dengan kenyataan sebenarnya bisa terjadi. Akibatnya Anda mungkin bisa mencapai target dana pendidikan yang dinginkan tetapi bisa juga tidak. Dengan melakukan evaluasi rutin maka akan diketahui apakah rencana keuangan sudah terpenuhi tergetnya atau belum, sehingga jika belum dapat segera dilakukan revisi atau rencana perbaikannya.


BIAYA PENDIDIKAN : KENAPA HARUS GRATIS

Jika kita masih mempertanyakan mengapa biaya pendidikan harus gratis maka sebaiknya kita kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Coba pikir, bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warganegaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah bukan hanya rendah kualitasnya tapi juga mahal harganya? Apa gunanya kita merdeka jika ternyata pendidikan dasar dengan kualitas burukpun harus kita peroleh dengan biaya mahal? Mana berkah kemerdekaan yang kita cita-citakan sejak setengah abad yang lalu tersebut? Apakah kita harus menunggu hingga satu abad baru cita-cita kemerdekaan tersebut bisa kita peroleh?
Cobalah tengok negara-negara maju atau negara-negara tetangga. Tanpa gembar-gembor :”Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.” “Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, “Hanya dengan SDM yang berkualitas kita dapat membangun negeri ini,” dan berbagai jargon-jargon politik lain, mereka secara otomatis sejak semula sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negaranya. Di Sabah tetangga dekat kita saja sejak bayi lahir disana, entah Anda waraganegara atau bukan, sudah berhak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis. Apalagi di negara-negara maju macam Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dll. Bahkan warganegara asingpun jika tinggal disana juga berhak mendapatkan pendidikan gratis. Bukan hanya pendidikan dasar tapi bahkan sampai perguruan tinggi. Nah! Apakah kita masih mau mengelak lagi dari kewajiban kita memberikan pendidikan dasar bagi warganegara kita sendiri?

“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)

Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.

Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.

“Tapi bukankah struktur ekonomi penduduk kita berbentuk piramida terbalik dimana penduduk miskinnya hanya 5 % sedangkan sisanya termasuk mampu membayar biaya pendidikan? Nggak fair dong jika punya mobil Mercy tapi minta biaya pendidikannya disubsidi! “ (Kaltim Post, 11 Januari 2005)

Jika itu alasan yang dipakai maka jelas kita akan semakin jauh dari tujuan kemerdekaan kita semula. Pemerintah telah berubah menjadi perusahaan swasta dimana semua jasanya tidak lagi berorientasi kepada pelayanan tapi kepada pembayaran. Lantas apa gunanya pemerintahan yang dibiayai dari pajak dan kekayaan negara jika ternyata rakyat masih juga harus membayar untuk pendidikan dasarnya? Hak untuk memperoleh pendidikan bermutu tidak sama dengan BBM dimana semua orang harus membeli dan yang miskin masih harus disubsidi oleh pemerintah. Pendidikan adalah hak dasar yang dimiliki setiap rakyat yang mesti dipenuhi oleh pemerintahnya.

Apa artinya ‘piramida terbalik’ tersebut jika masyarakat di Kariangau, Tritip, dan Manggar masih harus membayar untuk pendidikan dasar dengan kualitas memprihatinkan? Bahkan di negara-negara maju dimana penduduknya sudah 100% kaya sekolah juga gratis. Kaya mana sih Balikpapan dengan Sabah dan Sarawak? Toh mereka menggratiskan pendidikan mereka bagi warganegara mereka. Di negara manapun yang namanya ‘public school’ atau sekolah negeri selamanya gratis. Meskipun ada anak konglomerat yang memiliki harta bertrilyun-trilyun bersekolah di sekolah publik maka ia berhak untuk memperoleh pendidikan gratis dan tak seorangpun akan berkata, “Wah! Nggak fair dong! Orang kaya kok disubsidi!” Itu pernyataan yang ‘aneh’ karena memang setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis, siapapun itu tanpa diskriminasi. Ini adalah masalah hak dan bukan privilege. Bahkan di Sabah dan Sarawak, tetangga terdekat kita, sekolah swastapun gratis, bukan hanya sekolah pemerintah, karena disubsidi oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena faktor biaya karena orang tua bisa dihukum jika tidak menyeklahkan anaknya. Itulah konsep dasar dari Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar dikdas) yang kita masukkan dalam UU Sisdiknas.

Bukankah pejabat-pejabat pemerintahan kita selama ini berbondong-bondong ‘studi banding’ ke Sabah dan Sarawak ketika penerbangan MAS masih buka? Lantas apa hasil ‘studi banding’ tersebut jika ternyata kita tidak belajar hal-hal yang bermanfaat semacam ini bagi rakyat?

“Tapi kan ada subsidi untuk pendidikan dan kesehatan melalui berbagai skema macam program KELUARGA MISKIN,untuk memperoleh beasiswa pendidikan dan kesehatan sehingga mereka yang tidak mampu akan tetap memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis” (Program GAKIN adalah program kota Balikpapan bagi keluarga miskin untuk memperoleh subsidi pendidikan dan kesehatan)

Terus terang, program subsidi sekolah bagi keluarga miskin itu sangat mengusik hati kecil kita. Lha wong untuk memperoleh pendidikan dasar dan kesehatan yang memang sudah semestinya menjadi haknya kok ya warganegara mesti ditempeli ‘cap’ KELUARGA MISKIN toh! Tidakkah itu suatu bentuk diskriminasi yang justru tidak berkeadilan dan harus kita hilangkan karena bertentangan dengan undang-undang Sisdiknas. Tidakkah istilah ‘warga miskin’ itu mengusik harga diri warganegara kita sendiri? Pernahkah kita meneliti apa dampak negatif dari ‘stempel’ warga miskin pada siswa-siswa kita. Mereka menjadi anak-anak yang terstigmatisasi dan memiliki self esteem yang rendah. Tak usah tanya mengenai prestasi akademis kalau sudah begitu. Citra diri yang rendah akan membuat orang kurang bertanggungjawab dan tidak mampu berprestasi dalam bentuk apapun. Prinsip “You can if you think you can.” Dan juga sebaliknya :”You cannot when you think you cannot.” Benar-benar berlaku disini. Karena sudah distempel termasuk golongan “CANNOT” maka mereka jelas tidak akan bisa melakukan prestasi apapun. Kita sudah meracuni pikiran mereka dengan stempel ‘WARGA MISKIN” tersebut!

Saya pernah tersentak mendengar cerita dari seorang teman saya yang keluarganya termasuk miskin tapi karena suatu kesalahan pencatatan dianggap keluarga mampu dan dimintai sumbangan perbaikan kampung setara dengan keluarga mampu. Teman saya tentu saja marah dan hendak protes kepada pejabat kampung. Tapi oleh bapaknya dicegah mati-matian karena ia ingin dan senang dianggap setara dengan keluarga-keluarga lain yang mampu, meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman kesana kemari untuk menutupinya. Ini menunjukkan bahwa harga diri dinilai lebih tinggi ketimbang kemudahan yang diperoleh dengan mengorbankan harga diri. Tak ada orang yang ingin disebut warga miskin jika bukan karena begitu terdesaknya mereka secara ekonomi.

Disamping masalah harga diri banyak warga miskin yang tidak melapor dan meminta kartu GAKIN karena tidak mau repot-repot mengurus sehingga mereka kehilangan hak mereka untuk mendapatkan subsidi pendidikan dasar. Statistik yang menyatakan warga miskin Balikpapan hanya 5 % sungguh perlu dipertanyakan kalau standarnya adalah kartu GAKIN tersebut.

“Sekolah gratis akan menghambat mutu pendidikan. Kalau begini kan tidak adil. Lagipula saya yakin, mereka yang kaya itu akan malu jika sekolah gratis.” (Kaltim Post, Sabtu 15 Januari 2005)

Ini adalah argumen yang menggelikan. Jika sekolah gratis itu akan menghambat mutu pendidikan maka semua negara maju tentunya tidak akan menerapkan kebijakan tersebut. Faktanya adalah : Semua negara maju, bahkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai kualitas pendidikannya jauh di atas kualitas pendidikan di negara kita padahal sekolahnya gratis, bahkan sampai perguruan tingginya. Indonesia, atau lebih spesifik Balikpapan, biaya pendidikannya tidak gratis dan bahkan mahal justru kualitas pendidikannya sangat terpuruk dibandingkan negara-negara tetangga sekalipun.

Pendidikan memang tidak murah. apalagi pendidikan yang berkualitas. Dibutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi biaya yang besar itu harus dibebankan pada pemerintah, dan bukan pada orang tua atau masyarakat, karena begitulah amanat undang-undang. Bukankah kita memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengelola semua kekayaan negara? Bukankah kita telah membayar berbagai macam pajak, retribusi dan pungutan kepada permerintah agar dapat dikelolalnya untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut melalui APBN dan APBD?

Samasekali tidak ada alasan untuk malu di sekolah gratis. Kita justru malu jika sekolahnya berkualitas buruk. Kalau tidak percaya tanyai semua anak-anak orang kaya apakah mereka malu atau tidak jika biaya sekolah mereka dibebaskan. Saya yakin jawabannya pasti :” Tidak!”.

“Pemerintah tidak mampu memberikan pendidikan gratis karena besarnya dana yang harus disediakan dan lagipula banyak hal lain yang juga memerlukan pendanaan secara mendesak juga.” (Kaltim Post, Selasa, 11 Januari 2005)

Setiap kali mendengar argumen ini saya tidak tahan untuk tidak menangis dalam hati. Ini artinya kita masih belum beranjak dari sikap tidak bertanggungjawab terhadap peran dan tugas kita kepada masyarakat. Jelas-jelas itu merupakan amanah yang harus kita emban kok ya kita dengan entengnya mengelak dari tugas dan kewajiban kita. Siapapun tahu bahwa itu pekerjaan yang maha berat, terutama bagi kota dan kabupaten yang miskin, tapi itu tidak berarti kita bisa mengelak dari tanggungjawab kita. Kita harus bekerja keras untuk mencapai itu sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, tapi tetap dengan tekad untuk memenuhi amanat tersebut. Dan itu yang tidak kita lihat selama ini. “Karena sekarang tidak bisa kita capai ya sudah! Kita tidak usah repot-repot untuk mencapainya lha wong itu pekerjaan maha berat yang hanya Superman yang bisa kerjakan.” Itu sikap yang muncul pada kita. Barangkali ini ‘karma’ dari stempel GAKIN yang kita capkan pada warga kita sehingga kita ketularan menjadi golongan “CANNOT” dan tidak berusaha untuk “CAN”.

Kalau mau, akan ada banyak jalan untuk mencapai apapun yang kita inginkan. “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”, begitu kata anak saya yang baru belajar tentang pribahasa. Kalau tidak bisa sekaligus, ya lakukan secara bertahaplah. Yang penting ada usaha untuk menuju kesana dan tidak menutup pintu. Jika mau, bukankah kita bisa belajar pada mereka yang telah sukses memberikan pendidikan gratis pada warganya? Tak perlu jauh-jauh, Sabah dan Sarawak masih satu pulau dengan kita. Tapi kalau Sabah dan Sarawak terlalu tinggi mungkin kita cukup belajar ke Singaraja di Bali, Cilacap di Jawa Tengah, Bontang dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur atau Sinjai di Sulsel. Disana mereka sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya. Padahal APBD mereka jauh lebih kecil daripada kita. Kita bisa belajar dari mereka bagaimana caranya mereka dapat menggratiskan pendidikan dengan APBD yang jauh lebih kecil daripada kita.

Nah! Alasan apalagi yang akan kita ajukan?


MENGHITUNG PERKIRAAN BIAYA PENDIDIKAN

Dikutip dari Tabloid NOVA No. 756/XIV

Ketika beberapa hari lalu saya berbicara di sebuah seminar di Surabaya, saya kaget ketika seorang peserta seminar bercerita tentang mahalnya biaya masuk kuliah dari sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Jumlahnya tidak usah saya ceritakan berapa, tapi yang jelas sangat mahal. Padahal, itu baru uang masuknya doang.

Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa yang namanya Biaya Pendidikan harus dipersiapkan sejak sekarang. Betul, memang tidak semua Biaya Pendidikan itu mahal. Bervariasinya bentuk sekolah, terutama sekolah yang jenjangnya sudah cukup tinggi seperti Sekolah Tinggi, Akademi atau Universitas, membuat tidak semua standar biaya bisa sama. Jangankan pendidikan tinggi, jenjang sekolah yang lebih rendah seperti SD, SMP dan SMU saja bisa bervariasi biayanya satu sama lain. Itulah karenanya beberapa di antara Anda ada yang merasa mampu untuk membayar biaya pada Sekolah A, tetapi tidak mampu untuk membayar biaya pada Sekolah B yang harganya lebih mahal.

Namun demikian, perlu diketahui bahwa bukan berarti Sekolah A yang biayanya dinilai murah tersebut akan tetap sama murahnya pada tahun-tahun mendatang. Ini karena yang namanya Biaya Pendidikan pasti akan naik terus dari tahun ke tahun. Jadi, kalaupun sekarang ada sekolah yang biaya pendidikannya dirasa tidak mahal, tetapi karena biaya tersebut naik terus tiap tahun, jatuh-jatuhnya pasti mahal.

Saya beri contoh sederhana saja: anggap saja sekarang anak Anda berusia 3 tahun. Pertanyaannya gampang, kalau sekarang Uang Pangkal SMU adalah Rp 4 juta, dan usia rata-rata seseorang masuk SMU adalah ketika pada usia 15 tahun, apakah nantinya Anda akan membayar jumlah yang sama ketika nantinya anak Anda masuk SMU sekitar 12 tahun lagi?

Pasti beda, karena nantinya Biaya Pendidikan tersebut pasti akan jauh lebih mahal.

CARA MENGHITUNG

Lalu, bagaimana cara Anda bisa menghitung dan memperkirakan jumlah Biaya Pendidikan anak Anda kelak kalau biaya pendidikan selalu naik dari tahun ke tahun? Kan, Anda tidak tahu berapa persen jumlah kenaikannya setiap tahun?

Betul. Kita memang tidak bisa memperkirakan dengan pasti berapa jumlah Biaya Pendidikan anak kita kelak. Yang bisa kita lakukan adalah dengan menggunakan asumsi tertentu, dan berharap supaya pengandaian tersebut tidak meleset. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan asumsi bahwa setiap tahun Biaya Pendidikan akan selalu naik sebesar 10 persen setiap tahun. Rata-rata.

Dengan demikian, kalau misalnya Uang Pangkal masuk SMU pada saat ini adalah Rp 4 juta, tahun depan bisa diperkirakan bahwa Uang Pangkal tersebut akan menjadi Rp 4.400.000,-. Darimana angka itu didapat? Gampang: Rp 4 juta + (10% x Rp 4 juta)

TINGGAL DIKALIKAN

Sebetulnya, selain cara di atas, Anda juga bisa memakai rumus: Rp 4 juta X 1,1.

Lho, kok 1,1? Dapat dari mana itu? Oh, itu sih cuma matematika sederhana. 1,1 kan sama dengan 10% di atasnya 100%. Jadi, 1,1 itu adalah bentuk desimal agar Anda lebih cepat dalam melakukan perkalian memperkirakan jumlah Biaya Pendidikan.

Tapi kalau Anda mau pakai pengandaian kenaikan Biaya Pendidikan 20% per tahun, maka Anda bisa menggunakan bentuk desimal 1,2. Kalau asumsi kenaikan Biaya Pendidikannya adalah 30% per tahun, gunakan bentuk desimal 1,3. Begitu seterusnya.

Nah, kembali ke contoh kenaikan 10% dalam satu tahun, maka apabila tahun ini Uang Pangkal masuk SMU adalah Rp 4 juta, maka tahun depan angka tersebut diperkirakan menjadi: Rp 4 juta x 1,1 = Rp 4.400.000.

Itu untuk tahun depan. Kalau untuk dua tahun ke depan bagaimana? Anda bisa melakukan perkalian tersebut diatas dengan cara mengulangnya sampai dua kali, seperti ini: Rp 4 juta x 1,1 X 1,1

Kalau untuk lima tahun ke depan bagaimana?

Ulang perkalian tersebut sampai lima kali, seperti ini: Rp 4 juta x 1,1 X 1,1 X 1,1 X 1,1 X 1,1. Kalau untuk 12 tahun ke depan? Ulang sampai duabelas kali. Begitu seterusnya.

Memang, yang namanya perkiraan Biaya Pendidikan seringkali tidak bisa dihitung dengan cara yang sesederhana itu. Tapi melakukan perkiraan jelas masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dengan adanya angka perkiraan seperti yang sudah Anda pelajari di atas tadi, maka Anda bisa lebih mudah dalam melakukan persiapan. Ibarat Anda sedang bepergian, Anda tahu dengan pasti ke mana arah yang sedang Anda tuju.

Jadi, kalau Anda ingin mempersiapkan dana pendidikan untuk anak Anda, hal yang paling penting adalah dengan melakukan perhitungan tentang berapa perkiraan jumlah Biaya Pendidikan anak Anda kelak. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi Anda untuk mengatur strategi agar siap bila tiba saatnya nanti.


Menjadi Orang Pintar

Dahulu, ketika B.J. Habibie masih menjadi Menteri Riset dan Teknologi, banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi seorang Habibie. Kenapa? Karena dia pintar, berilmu, bisa membuat kapal terbang, menjadi orang terkenal di Indonesia bahkan di dunia, bisa pergi melanglang buana ke berbagai negara dan lain-lain.

Siapa orangnya yang tidak mau menjadi orang pintar atau orang berilmu? Pasti, semua orang bakal menginginkannya. Dengan bekal ilmu dan kepintaran, minimnalnya orang bisa mengais rejeki sebagai modal hidup dengan mudah. Setiap orang tua pasti mempunyai cita-cita untuk menyekolahkan anaknya sebisa mungkin. Jangan sampai anaknya kelak menjadi orang bodoh, atau tidak tamat sekolah walaupun sekedar jenjang SD saja. Tak peduli, orang tua punya duit atau tidak. Pasti bakal mengusahakan mencari biaya untuk sekolah, walaupun dengan resiko ngutang sekalipun. Rata-rata kekhawatiran orang tua, mereka tak mau anaknya menjadi ’sampah’ masyarakat. Mereka juga tidak mau, anaknya kelak bernasib seperti orang tuanya sendiri. Tidak mengenyam jenjang pendidikan, susah mencari kehidupan, tidak bisa baca tulis, tidak berwawasan dan lain-lain. ‘Jangan sampai nasib anak saya seperti bapaknya’, kata orang tua.


Sebegitu pentingnya pendidikan bagi manusia, negara pun turut bertangung jawab. Pendidikan menjadi hak asasi setiap warga negara. Dalam UUD ‘45 Pasal 31 disebutkan;


(1)Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,


(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang,


(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,


(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjungjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.


Negara menjamin pendidikan bagi setiap warganya dengan tujuan untuk memajukan peradaban bangsa dan menyejahterakan umat manusia. Trauma jaman penjajahan, mengusik para pendiri bangsa ini untuk bangkit dari kebodohan dan kemiskinan. Jangan sampai penjajahan fisik terulang kesekian kalinya untuk bangsa Indonesia. Indonesia dijajah karena bodoh dan miskin!


Nampaknya permasalahan tidak berhenti sampai di sini. Bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar manusia dan menjadi kewajiban agama serta negara. Setelah puluhan tahun Indonesia terbebas dari penjajah, kondisi bangsa Indonesia sekarang tak jauh lebih baik ketika jaman dahulu.


Tahun 1950-an dan 1960-an, rakyat masuk sekolah di SR (Sekolah Rakyat) atau SMP tanpa dipungut biaya sedikitpun. Bahkan, segenap rakyat Indonesia waktu itu dirayu dengan susah payah bahkan dipaksa untuk mau ke sekolah, maklum tingkat orang Buta Huruf mencapai 90 persen. Iming-iming jatah segelas susu setiap pagi dari UNICEF dan pelayanan kesehatan bagi yang sakit menjadi fasilitas lebih. Padahal waktu itu, Indonesia baru saja lepas dari masa penjajahan.


Sekarang, jauh panggang dari api. Pendidikan menjadi hal yang tidak bisa disentuh oleh seluruh kalangan. Hanya orang berduit saja yang bisa menikmati pendidikan. Biaya pendidikan untuk masuk sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi, mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Padahal kemerdekaan Indonesia sudah berumur 60 tahun. Kondisi perekonomian kita pun jauh lebih baik dibanding tahun 50-an dan 60-an.


Bahkan persentasi pengangguran, bukan sebatas orang-orang non berpendidikan saja atau berpendidikan setingkat SD. Lulusan dari Perguruan Tinggi menambah daftar antrean jumlah pengangguran di Indonesia. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Bukankah pendidikan di Indonesia untuk kesejahteraan umat manusia? Yang terjadi adalah untuk kesengsaraan umat manusia.


Justeru sukses pendidikan Indonesia, dikenal orang dengan label negatif. Indonesia masuk rangking teratas dalam urusan korupsi di Asia dan juga dunia. Menyedihkan memang! Padahal, -lagi-lagi menurut UUD-, pendidikan dimaksudkan untuk kemajuan peradaban bangsa. Yang terjadi adalah untuk keterpurukan peradaban bangsa. Moral dan harga diri bangsa jatuh dan menjadi cibiran orang lain.


Lantas bagaimanakah nasib penuntut ilmu? Haruskah kita terdiam diri, atau menjadi orang bodoh. Jelas itu bukan pilihan bijak. Untuk menentukan pilihan menjadi orang pintar pun, harus berpikir panjang. Lulusan sekolah atau kuliah pun, ternyata tidak lantas mendapat pekerjaan.


Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat. Sahabat itu bertanya, “Wahai Rasulullah, aku ingin menjadi orang yang paling pintar?”. Rasul menjawab; “Bertakwalah kamu kepada Allah, niscaya kamu bakal menjadi orang yang paling pintar”. Dari jawaban Nabi, ternyata ada perbedaan logika yang sangat mendasar dengan logika kebanyakan manusia.


Dalam pandangan Nabi, ada pesan khusus untuk menjadi orang pintar. Logika yang dipakai bukan standar manusia, tapi standar agama. Islam memberikan kunci sukses untuk menjadi orang pintar dengan bekal takwa. Islam sama sekali tidak melarang manusia untuk menjadi orang pintar (berilmu), bahkan sangat menganjurkan pemeluknya untuk mencari ilmu dari lahir sampai mati.


Takwa mengandung arti takut kepada Allah dan menjaga diri sendiri. Orang bertakwa hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada sesama manusia. Prinsip orang bertakwa adalah menggapai target kehidupan dunia (berarti: dekat) dan akhirat (berarti: jauh). Menggapai yang jauh, yang dekat pun pasti kesampaian. Orang bertakwa tahu akan target hidup, yaitu dunia dan akhirat. Bukan sebatas di dunia saja.


Karenanya kenapa orang bertakwa disebut orang paling pintar. Dia tahu bahwa hidupnya bukan sebatas di dunia saja, tapi juga di akhirat. Dia senantiasa berhati-hati dalam menjalankan segala kehidupannya dan menjaga jangan sampai jatuh kepada hal-hal yang haram atau maksiat. Dia tahu dan sadar diri bahwa kelak kalkulasi segala amal perbuatannya bakal dihisab di akhirat. Sedikitpun tidak akan ada lolos dari hisaban Allah.


Orang bertakwa adalah orang yang senantiasa menghindar dari tiga tingkatan, sebagimana diungkapkan M. Quraish Shihab. Pertama, menghindar dari kekufuran dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan perintah Allah sepanjang kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, dan yang tertinggi, adalah menghindar dari segala aktifitas yang menjauhkan pikiran dari Allah swt.


Mari kita menjadi orang bertakwa!


Menilai dari Dalam : UN dan Peningkatan Mutu Pendidikan

KUNADAR

Ujian nasional atau UN 2007 memang telah berakhir. Dilaksanakan di tengah protes dari beberapa kelompok masyarakat yang menentangnya, pemerintah tetap berkeyakinan bahwa UN bisa dijadikan alat untuk meningkatkan mutu pendidikan.

UN yang menelan dana ratusan miliar rupiah itu oleh banyak kalangan memang dipertanyakan signifikansinya terhadap peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air. Pertanyaan besar yang muncul itu adalah sebagai berikut.

Apakah UN yang hanya menguji tiga mata pelajaran lalu bisa dijadikan alat untuk mengukur mutu pendidikan? Apakah dengan menjadikan salah satu pelajaran dari tiga mata pelajaran yang di-UN-kan sebagai persyaratan kelulusan seorang peserta didik memenuhi unsur keadilan? Benarkah UN dapat mendorong semangat belajar siswa?

Tidak signifikan

Harapan UN dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang dianggap masih rendah sepertinya kurang memiliki signifikansi. Pertama, UN yang hanya menguji tiga mata pelajaran tidak serta-merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan.

Menjustifikasi mutu pendidikan hanya dari tiga mata pelajaran merupakan sikap kurang bijaksana dan terlalu menyederhanakan persoalan. Untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh, termasuk non-akademis, input, proses dan output bahkan out come pendidikan.

Meningkatkan mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan menguji tiga mata pelajaran lalu dijadikan generalisasi dan justifikasi tentang mutu pendidikan. Sudah saatnya pemerintah menempatkan semua mata pelajaran secara sama (tidak menganakemaskan mata pelajaran tertentu dan memarjinalkan mata pelajaran yang lainnya).

Di lapangan sering terjadi kecemburuan antara mata pelajaran yang masuk UN dan mata pelajaran yang tidak masuk UN. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, dengan hanya tiga mata pelajaran yang diujikan dalam UN, mengakibatkan para guru dan siswa memfokuskan pada latihan bagaimana menjawab soal-soal ujian nasional tanpa memaknai secara mendalam mata pelajaran tersebut dari segi struktur keilmuan. Hal ini bisa menyebabkan anak kurang semangat untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak di-UN-kan, sebab biasanya mata pelajaran non-UN mudah untuk lulus.

Kondisi ini bisa menyebabkan sekolah beralih fungsi dari wahana internalisasi nilai-nilai positif menjadi hanya sebagai bimbingan belajar untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan. Kalau hal ini terjadi, berarti UN telah mengebiri hakikat pendidikan.

Kedua, dengan standar kelulusan nilai rata-rata 5,00 untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan sulit dijadikan parameter peningkatan mutu pendidikan. Bagaimana bisa mutu pendidikan dikatakan meningkat dengan standar kelulusan yang rendah.

Ketiga, dalam penyelenggaraan UN ada indikasi terjadi rekayasa hasil UN di lapangan. Tradisi kelulusan 100 persen seolah “menghipnotis” para pelaku pendidikan di lapangan, terutama guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan agar siswanya dapat lulus 100 persen. Maka, dibentuklah “tim sukses” dengan tugas agar tingkat kelulusan UN bisa mencapai 100 persen. Kesan adanya “mark up” nilai dalam UN sulit dihindari.

Tradisi kelulusan 100 persen sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan karena tidak mendorong siswa untuk belajar keras dan guru untuk bekerja keras. Guru tidak tertantang oleh keadaan untuk lebih mempersiapkan diri sebelum masuk ruang kelas. Tidak ada budaya kompetisi, baik bagi siswa maupun guru sebab nantinya juga lulus 100 persen. Seolah-olah guru, kepala sekolah, dan pihak-pihak lain yang berkecimpung dalam dunia pendidikan malu kalau siswanya banyak yang tidak lulus.

Ada budaya malu untuk mengakui kekurangan diri sendiri. Ada kekhawatiran melalui hasil UN akan menunjukkan lemahnya kinerja dan kompetensi para praktisi pendidikan di lapangan selama ini. Alhasil, ada kesan bahwa selama ini ada upaya mengadakan manipulasi terhadap hasil UN.

Perubahan paradigma

Harapan pemerintah agar UN dapat dijadilan alat untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud jika pemerintah dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mampu berpikir dan bertindak secara proporsional dan profesional dalam pelaksanaan UN. Pihak pemerintah—melalui Departemen Pendidikan Nasional— harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan.

Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas. Hasil UN juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif.

Sistem penilaian (UN) harus mampu memberi informasi yang akurat, mendorong siswa untuk belajar, memotivasi guru dalam pembelajaran, meningkatkan kinerja lembaga, dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur namun pasti mutu pendidikan di Tanah Air akan meningkat.

Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan—terutama guru dan kepala sekolah—harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian, standar kelulusan dapat ditingkatkan ke angka yang rasional sehingga dapat dijadikan parameter untuk mengukur mutu pendidikan nasional.

Di sisi lain, para siswa dan orangtua juga perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras. Anggapan dalam ujian pasti lulus 100 persen harus dihilangkan dari pikiran siswa dan para orangtua.

Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat. Upaya peningkatan mutu pendidikan nasional tidak bisa ditempuh dengan cara parsial, tetapi harus holistik dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai.

Kunadar Widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas


Bila Nilai UN Tinggi, Puaskah Kita?

Oleh Jidi

Mutu pendidikan umumnya masih dipahami sebagai besarnya nilai ujian nasional semata.

Pemahaman ini sepadan dengan ukuran mutu pendidikan kita yang tetap menempatkan nilai UN sebagai indikator utama. Bila nilai hasil UN dan kelulusannya tinggi, sekolah merasa puas. Sebagian sekolah menganggap target berat telah tercapai.

Bahkan, sekolah tertentu mendadak seperti munafik, yang semula mati-matian mengkritik UN ikut-ikutan dalam euforia merayakan hasil UN-nya dengan membentangkan spanduk lebar-lebar.

Berlakulah rumus, sejelek apa pun kinerja sekolah seakan-akan sudah termaafkan dan terpendam dalam-dalam kekurangannya bila nilai UN-nya melangit. Sebaliknya, sebagus apa pun kinerja sekolah seperti tidak bernilai apa-apa karena terlibas hasil UN yang jeblok. Dengan ukuran demikian, seakan-akan matilah sekolah itu.

Sementara masyarakat (wali murid) sebagai pengguna jasa sekolah pada umumnya tidak mau repot asal anak lulus dengan nilai UN tinggi dan dapat melanjutkan studi di sekolah pilihan, apalagi anaknya mampu menembus sekolah yang dianggap unggulan.

Oleh karena itu, gayung bersambut dengan otonomi daerah, Jatim perlu visi bersama yang jelas dan terukur untuk membangun secara utuh mutu pendidikannya. Jika tidak, usaha meningkatkan mutu pendidikan di Jatim akan tetap terjebak pada perdebatan panjang tidak berkesudahan seperti perdebatan tentang pro dan kontra terhadap UN.

Kekukuhan pemerintah pusat untuk tetap memberlakukan UN (bahkan tahun depan juga diberlakukan untuk SD) belum dapat menjadi jaminan kualitas bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di Jatim. Dengan UN, disparitas mutu pendidikan tidak menjadi perhitungan. Sementara yang lain menentang UN karena evaluasi sesaat tersebut dianggap parsial, merugikan siswa, tidak mengembangkan multikecerdasan secara optimal, dan sering menyebabkan stres bukan hanya bagi siswa, tetapi juga guru dan orangtuanya. Padahal keduanya, baik yang pro maupun kontra terhadap UN, sama-sama punya keinginan meningkatkan mutu pendidikan.

Bukan hanya di masyarakat kebanyakan, perbedaan pemahaman terhadap konsep peningkatan mutu pendidikan masih terjadi di kalangan elite. Perihal UN, di Jatim dewan pendidikan dan dinas pendidikan saja masih belum mencapai titik temu. Dengan ekspresi beragam, ada yang saling mengkritik dan menolak, bahkan ada yang terperosok memberi stigma bodoh kepada yang lain.

Di tingkat sekolah, konsep mutu pendidikan dipahami secara berbeda pula. Perbedaan persepsi terhadap konsep mutu itu menjerumuskan sekolah ke penempuhan jalan pintas yang secara tidak disadari justru menggembosi tanggung jawabnya sebagai lembaga pendidikan. Untuk meraih nilai UN yang melejit, misalnya, sekolah membuka pintu lebar-lebar bagi lembaga bimbingan belajar (LBB) untuk masuk dan mengambil porsi besar pembelajaran, terutama ketika siswa memasuki kelas-kelas akhir.

Hal yang berlebihan bila LBB dianggap bukan sekadar the fastest solution dan the king of fastest solution, tetapi sudah menjadi learning revolution, smart solution (Kompas, 4/4), dan sebutan lain yang intinya sama dengan kecap nomor satu. Malah menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim (Kompas, 30/3), kerja sama sekolah dengan LBB membawa manfaat bagi pelajar, terutama pada sisi penguasaan strategi penyelesaian soal. Menurut dia, sekolah kekurangan waktu dan sumber daya untuk memberitahukan hal itu kepada pelajar. Bukankah sekolah sudah mengalokasikan waktu belajar yang semakin panjang?

Di sekolah-sekolah favorit, penerjemahan konsep peningkatan mutu pendidikan diaktualisasikan dengan pengetatan seleksi penerimaan siswa baru. Sekolah sejak tahap awal seleksi sangat pilih-pilih siswa. Yang diterima hanya siswa pintar. Motivasinya lagi-lagi keinginan meluluskan siswanya kelak dengan nilai UN selangit. Sekolah seperti ini tidak punya nyali menerima siswa dengan kualitas biasa untuk kemudian dididik dengan cara unggul agar memperoleh hasil unggul. Dengan demikian, ada indikasi kebenaran kata sebagian pengamat bahwa kinerja sekolah favorit pun ibarat masih sebatas mengubah emas menjadi perhiasan, belum mengubah loyang menjadi emas.

Berbagai pernik pilu hingga kritik akurat seputar UN setidaknya cukup untuk memberikan inspirasi pada Jatim khususnya untuk mengatur langkah pembenahan utuh terhadap sistem pendidikannya. Bukan kemaruk dengan otonomi daerah, tetapi lebih pada semangat perbaikan mutu pendidikan. Sederhana saja, yang lebih tahu seluk-beluk dan keunikan Jatim adalah orang Jatim. Langkah tersebut bukan penentangan terhadap pemerintah pusat asal pemerintah pusat betul-betul memiliki good will dan secara proporsional membuat kebijakan-kebijakan besarnya saja, tidak sampai pada tataran teknis ujian akhir sekolah karena pengaturan hingga sekecil-kecilnya dari pusat tidak selalu relevan dengan apa yang idealnya diterapkan di daerah, apalagi di sekolah. Dengan potensi besarnya, Jatim perlu tampil ke depan untuk merumuskan alternatif sebagai tali kompromi yang strategis untuk menyinergikan kembali pemikiran-pemikiran cerdas, baik yang pro maupun kontra terhadap UN.

Langkah tersebut sekaligus menjadi sarana merevitalisasi pendidikan kita yang berbasis kompetensi. Bukan saja kompetensi siswa, tetapi juga kompetensi daerah yang senantiasa mengakomodasi keunggulan dan keunikan masing-masing seperti semangat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan kita. Dari sana justru akan muncul inovasi-inovasi pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan daerah. Belajar akan jadi menyenangkan.

Yang diharapkan siswa, orangtua, maupun gurunya akan lebih tenang, tidak kena teror psikologis yang terjadi tiap tahun. Bila ujiannya integral, kelak petugas ujian cukup guru karena guru paling tahu perkembangan belajar siswanya. Tidak perlu melibatkan petugas keamanan dalam pengawalan soal yang membuat ujian semakin angker dan mencekam.

Masihkan nilai UN diidentikkan dengan mutu pendidikan? Bila nilai UN tinggi, sudah puaskah kita?

Jidi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Pendidikan Al Falah, Surabaya


Kepemimpinan Kepala Sekolah

ks.jpgDALAM era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).

Dalam konteks MBS, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.

Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.

Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.

Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 35 8)adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan.

***

DALAM era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung.

Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni-Red) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi.

Keadaan ini pernah dialami oleh penulis ketika harus melakukan diseminasi classroom action research di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat.

Di sisi guru, sebenarnya sangat mendambakan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui classroom action research. Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya. Para guru telah dilatih berhari-hari mengenai cara-cara melakukan classroom action research. Tetapi, gara-gara ada kepala sekolah tidak reseptif terhadap inovasi, akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperolehnya dari penelitian tindakan kelas.

Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkannya secara berkelanjutan.

***

AGAR proses inovasi di sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader) dan bukan bertindak sebagai bos. Ada perbedaan di antara keduanya.

Oleh karena itu, seyogianya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.

Kepala sekolah juga harus menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan.

Prof Suyanto PhD, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua Tim Komite Reformasi Pendidikan.